Selasa, 21 Juli 2009

Profesor Belanda: Psikologi ala Darwin Ternyata Keliru

Ilmu psikologi yang dijelaskan berlandaskan teori evolusi Darwin ternyata keliru, kata para pakar. Metoda dan datanya tidak bisa dijadikan bukti. Psikologi evolusioner ala Darwin mulai tumbang !

Hidayatullah.com–Pakar biologi asal Belanda, Johan J. Bolhuis, yang juga presiden Royal Dutch Zoological Society, baru-baru ini menulis di terbitan ilmiah pro-evolusi terkemuka, Science, 6 Juni 2008. Di jurnal itu, profesor di Institute of Biology, Leiden University, Belanda ini membedah sebuah buku penting yang baru terbit, Evolutionary Psychology as Maladapted Psychology (Psikologi Evolusioner sebagai Psikologi Salah Tempat), karya Robert C. Richardson.

Buku tersebut membongkar kekeliruan penerapan teori evolusi Darwin di bidang psikologi. Pendekatan evolusi ini menarik perhatian kalangan masyarakat luas karena, sebagaimana dituturkan Bolhuis, seringkali menyentuh bahasan-bahasan seperti birahi manusia, seks dan nafsu.

Psikologi ala Darwin

Dalam ulasannya yang berjudul “Psychology: Piling On the Selection Pressure” di majalah Science itu, Johan J Bolhuis menyatakan bahwa Charles Darwin memperluas cakupan teori evolusi dalam buku The Origin of Species-nya untuk menjelaskan kemampuan berpikir pada manusia. Ini dituangkan Darwin dalam bukunya yang lain, The Descent of Man, di mana Darwin berpendapat bahwa sifat-sifat pada diri manusia seperti moralitas dan emosi muncul melalui evolusi.

Dalam perkembangan selanjutnya, para pakar di bidang psikologi yang datang kemudian lalu mengekor jejak sang guru Charles Darwin, berusaha menerapkan teori evolusi untuk menjelaskan akal pikiran manusia, atau yang dikenal dengan istilah evolutionary psychology (psikologi evolusioner, yakni psikologi yang dijelaskan menurut teori evolusi). Lebih khusus lagi, psikologi evolusioner mengemukakan bahwa akal pikiran manusia terdiri dari simpul-simpul daya pikir yang berevolusi sebagai tanggapan atas tekanan seleksi yang dihadapi nenek moyang manusia pada Zaman Batu.

Evolusi adalah ideologi

Awalnya berupaya menjelaskan asal usul keanekaragaman makhluk hidup dengan menihilkan pencipta, teori evolusi pun lalu merambah ke ranah psikologi manusia. Ini menyiratkan betapa evolusi bukanlah sekedar teori di bidang biologi semata. Lebih luas dari itu, evolusi adalah ideologi atau akidah ateis materialis, yang diterima benar secara dogmatis, meski tanpa bukti nyata, dan dijadikan penganutnya sebagai cara pandang serta pijakan dalam mengembangkan ilmu-ilmu lain, termasuk psikologi manusia.

Karena dijadikan landasan dogma tanpa bukti di bidang psikologi evolusioner, tidak heran jika terjadi kejumudan dengan menolak penjelasan selainnya. Bolhuis menegaskan permasalahan penting ini:

“The main problem with evolutionary psychology is that it usually does not consider alternative explanations but takes the assumption of adaptation through natural selection as given.”

Permasalahan utama dengan psikologi evolusioner adalah biasa tidak dipertimbangkannya penjelasan-penjelasan alternatif tapi menjadikan anggapan (asumsi) adaptasi melalui seleksi alam sebagai kebenaran yang wajib diterima.

Perkataan di atas adalah bukti jelas yang menggambarkan sifat teori evolusi yang tidak mencerminkan teori ilmiah, melainkan akidah, dogma ataupun ideologi yang wajib diterima dengan menutup diri dari penjelasan lain.

Tak punya bukti

Sang pengarang buku Evolutionary Psychology as Maladapted Psychology, Robert Richardson, adalah pendukung evolusi, yang percaya bahwa kemampuan psikologis manusia merupakan sifat yang terevolusi. Meskipun begitu, filsuf asal University of Cincinnati itu menyatakan bahwa penafsiran psikologi evolusioner dari sudut pandang biologi evolusi adalah salah. Richardson sampai pada kesimpulan tersebut berdasarkan kajiannya yang berpegang teguh pada ilmu pengetahuan, terutama pada metoda-metoda ilmiah yang digunakan dalam penelitian di bidang tersebut.

Menurut Bolhuis, karya Richardson ini merupakan pelengkap karya yang telah terbit sebelumnya, yang juga memberikan bantahan telak terhadap penerapan teori evolusi selama ini di bidang psikologi. Karya yang lebih dulu terbit tahun 2005 itu berjudul Adapting Minds (Akal Yang Beradaptasi), yang juga karya pendukung evolusi, David Buller, pakar filsafat asal Northern Illinois University. Berbeda dari Richardson, karya Buller lebih terperinci, menitikberatkan pada bukti-bukti dan memberikan penafsiran lain.

Para pakar psikologi evolusioner seringkali bersikukuh dengan pendapat mereka hingga timbul kesan bahwa kemampuan nalar manusia hanya dapat dipahami berdasarkan sejarah evolusi manusia. Akan tetapi dalam kajiannya, sebagaimana dituangkan di banyak tempat dalam bukunya Evolutionary Psychology as Maladaptive Psychology, Richardson berkesimpulan bahwa tidak ada bukti sejarah yang dapat digunakan untuk merekonstruksi evolusi kemampuan berpikir manusia.

Contoh nyatanya adalah kemampuan berbahasa pada manusia. Penjelasan yang cenderung digunakan dalam psikologi evolusioner adalah bahwa proses evolusi mendorong kemunculan keterampilan berbahasa tersebut untuk digunakan dalam kelompok masyarakat kompleks. Dengan kata lain, ada kebutuhan akan bahasa. Richardson berpendapat bahwa para pakar fosil mustahil akan menemukan bukti-bukti yang dapat memberikan informasi tentang tatanan sosial masyarakat nenek moyang manusia.

Rekaan belaka

Bahkan kalaupun bukti-bukti yang diperlukan dalam pengkajian kemampuan berpikir manusia berdasarkan psikologi evolusioner dapat dikumpulkan, hal ini tidak akan menghasilkan pengetahuan tentang mekanisme kemampuan berpikir manusia, ulas Bolhuis yang juga menjabat sebagai profesor tamu di Department of Zoology, University of Salzburg, Austria. Sebab, kajian tentang evolusi berkutat pada rekonstruksi sejarah sifat-sifat manusia.

Kajian tersebut tidak, dan tidak dapat, menelaah mekanisme yang terlibat pada otak manusia, yang merupakan bidang kajian ilmu saraf dan psikologi kognitif. Dengan demikian pengkajian psikologi berlandaskan teori evolusi tidak akan pernah berhasil, karena berupaya menjelaskan mekanisme-mekanisme tapi secara tidak tepat mengacu pada sejarah mekanisme-mekanisme tersebut. Ini diibaratkan sang pengarang seperti menjelaskan struktur tanaman anggrek dengan merujuk pada keindahannya.

Di akhir ulasannya mengenai buku Evolutionary Psychology as Maladapted Psychology (Psikologi Evolusioner sebagai Psikologi Salah Tempat), profesor Bolhuis mengatakan bahwa hasil kajian Richardson mengungkap betapa kajian psikologi berdasarkan teori evolusi sebagian besarnya adalah rekaan semata:

In this excellent book, Richardson shows very clearly that attempts at reconstruction of our cognitive history amount to little more than "speculation disguised as results."

Dalam buku luar biasa ini, Richardson memperlihatkan dengan sangat gamblang bahwa upaya-upaya dalam penyusunan ulang sejarah kemampuan berpikir kita sedikit lebih dari “rekaan yang disamarkan sebagai hasil.” (Science 6 Juni 2008, Vol. 320. no. 5881, hal. 1293).

Atau sebagaimana diulas pula dalam editorial buku terbitan The MIT Press (http://mitpress.mit.edu) tersebut:

It is speculation rather than sound science--and we should treat its claims with skepticism. ([Psikologi evolusioner] itu lebih merupakan rekaan daripada ilmu pengetahuan yang mapan – dan kita sepatutnya memperlakukan pernyataan-pernyataannya dengan keraguan).

Mudah-mudahan psikologi evolusioner yang terbukti keliru ini, namun telah lama diajarkan di dunia akademis, tak terkecuali di lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Indonesia, semakin mendapatkan pencerahan alternatif. Semoga. [as/science/MITpress/www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar