Selasa, 13 April 2010

ISLAM DAN KRATON KASUNANAN SURAKARTA (MASA SUNAN PAKU BUWANA IV) BAGIAN 1



Sikap Keagamaan Masyarakat Kraton



Kasunanan Surakarta secara formil memang merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman. Ciri sebagai kerajaan islam dapat dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan. Berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunan gelar sayidin panatagama (artinya pemimpin dan sekaligus sebagai pengatur urusan agama) oleh Sunan, dan berdirinya masjid agung di lingkungan keraton. Di samping itu banyak ucapan keraton yang juga mencerminkan sifat islami, seperti upacara Garebeg yang dipandang sebagai upacara besar.



Kasunanan Surakarta mengenal tiga macam upacara Garebeg, yaitu Garebeg Pasa, pelaksanaannya bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri; Garebeg Besar, diselenggarakan bertepatan dengan Hari Raya Idul Qurban; dan Garebeg Mulud, untuk merayakan dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Garebeg Mulud, juga dikenal dengan sebutan Sekaten, merupakan garebeg terbesar di antara dua garebeg lainnya sehingga pelaksanaannya sangat agung dan meriah. Cirri-ciri seperti ini merupakan tanda penguat bahwa kasunanan Surakarta memang sebuah kerajaan islam.





Meskipun nuansa keislaman telah mewarnai symbol-simbol budaya keraton kasunanan Surakarta, pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat islam sinkretik. Berbagai kepercayaan pra islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, kepercayaan pada makhluk halus, dan upacara ritual pra islam lainnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keagamaan masyarakat kraton. Akhirnya, semua itu menjadi cirri keagamaan masyarakat keraton yang oleh para peneliti kemudian dikenal dengan istilah Agama Jawi .



Sifat sinkretisme agama yang dihayati oleh masyarakat keratin sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses islamisasi pedalaman Jawa itu sendiri. Agama Islam masuk ke pedalaman jawa tidaklah dalam bentuk murni yang mementingkan syari’ah, namun lebih banyak bercampur dengan sufisme atau mistik Islam .



Penekanan pada unsure mistik atau sufisme pada awal penyebaran Islam di pedalaman jawa dapat dilihat dari tokoh-tokoh penyebarnya. Seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Panandaran. Kedua tokoh penyebar agama Islam ini memang memiliki warna sufisme yang kental karena ingin menyesuaikan Islam dengan alam pemikiran masyarakat pedalaman jawa. Oleh karena tekanannya pada tasawuf, maka proses islamisasi di pedalaman jawa tidak mengalami hambatan yang berarti. Hal ini berkaitan dengan adanya beberapa kesamaan antara pandangan dunia tradisional jawa dan ajaran mistik atau tasawuf Islam.



Ajaran tasawuf dalam ajaran agama Islam memang mengenal dua aliran, yaitu Tasawuf Ortodok dan Tasawuf Heterodok. Tasawuf Orotdok,, dengan tokohnya imam al-Ghazali, tetap mempertahankan transedensi Tuhan yang mengatasi semua makhluk sehingga antara tuhan dan makhluk terdapat perbedaan. Sebaliknya, Tasawuf Heterodok, dengan tokohnya yang terkenall dengan Al-Hallaj dan Ibnu Arabi, cenderung pada paham panteistik (wahdat al-wujud) dan percaya bahwa makhluk merupakan bagian dari Tuhan sehingga manusia dapat menyatu dengan tuhan (manunggaling kawulo gusti).



Pandangan dunia tradisional Jawa yang tidak membedakan antara makrokosmos (jagad gede atau alam keilahian) dan mikrokosmos (jagad cilik atau alam manusia). Sehingga keduanya dapat saling bertemu, mendapatkan kecocokannya dari ajaran Islam mistik; wahdat al-wujud bersikap panteistik, dalam arti manusia dapat menyatu dengan tuhan. Oleh karena kesamaan dalam hal inilah, maka Islam dapat diterima dan diintegrasikan dalam pola sosial, budaya dan politik masyarakat.



Keharmonisan pola integrasi agama Islam di pedalaman jawa ini dapat dilihat dari pandangan masyarakat jawa terhadap para wali dan kyai penganjur agama islam. Mereka tidak saja dianggap sebagai penyebar agama. Melainkan juga dianggap sebagai ‘penjaga’ budaya jawa. Masyarakat jawa bahkan percaya bahwa kesenian wayang dan gamelan sebagai puncak budaya jawa dan merupakan karya para wali. Ciri sufisme atau mistik Islam dengan demikian telah menemukan kecocokannya dalam pandangan dunia tradisional Jawa sehingga dapat mempercepat proses integrasi dan penyebaran agama islam.



Gambaran sifat sinkretik yang lebih mementingkan sufisme atau tasawuf dalam masyarakat keraton Surakarta dapat dilihat dari sikap hidup mereka dalam menghayati agama. Bagi masyarakat keraton , ajaran syariah dalam islam barulah dianggap sebagai titik awal untuk menuju taraf pemahaman tentang keilahian yang lebih tinggi. Syariah agama memang dijalankan masyarakat keraton. Namun, hal ini tidak dipandang sebagai tujuan akhir karena ada tujuan lain yang ingin direngkuhnya. Munculnya ajaran tentang manunggaling kawulo gusti dan kecenderungan masyarakat keraton untuk menghayati keagamaan yang hanya ada dalam dunia batin, sehingga sering meninggalkan aspek syariah agama yang dianutnya, merupakan bukti sikap keagamaan sinkretik tersebut.



Namun demikian, adakalanya sikap keagamaan masyarakat keraton yang cenderung sinkretik berubah ke sikap lebih orotodok (murni) yang menekankan pada hukum syariah. Ketika Sunan Pakubuwana IV (1788-1820) memerintah Kasunanan Surakarta, perubahan sikap keagamaan ini juga terjadi. Sunan Paku Buwana IV memang dikenal sebagai raja yang alim dan taat menjalankan perintah agama sehingga raja yang alim dan taat menjalankan perintah agama sehingga mendapat julukan Ratu ableg wali mukmin. Sikap keagamaan yang dihayati oleh seorang raja kemudian berpengaruh pada sikap keagamaan masyarakat keraton lainnya. Suasana perubahan sikap keagamaan di keraton Surakarta tampak dengan jelas pada karya sastra yang lahir saat itu, seperti Serat Centini, Serat Cabolek, dan Serat Wulang reh. Ketiga serat tersebut memang dapat memberikan gambaran mengenai realitas sejarah awal abad XIX (bangsawan dan priyayi) dalam menghayati ajaran agamanya [bersambung]



Catatan kaki:

1. Darsiti Soeratman, Kehidupan dunia Kraton Surakarta 1830-1939. (penerbit taman siswa, Yogyakarta, 1989). Hlm. 139

2. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984). Hlm. 310; W.F. Wertheim, Indonesian Society in transition, A study of

3 . H.J de Graaf dan Th.G.Th. pigeaud. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Peralihan majapahit ke Mataram. (Jakarta: Grafitipers, 1985). Hlm. 9.

4. Mengenai tokoh sunan Kalijaga (lihat: ibid. hlm. 283): Providence USA: foris publication. 1987). Hlm. 56-60

5. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Suatu studi terhadap serat wirid Hidayat Jati. (Jakarta: Universitas Indonesia. 1986). Hlm. 52-53; Martin van Bruinessen. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. (bandung; penerbit mizan. 1995). Hlm. 27-30

6. Mengenai sumbangan para wali bagi perkembangan kesenian wayang dan gamelan, lihat Sholochin Salam, Sejarah Wali Sanga. (Kudus: Menara Kudus. 1975)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar