Selasa, 13 April 2010

SERAT CENTHINI: JEJAK SYARIAH DI KERATHON SURAKARTA (BAGIAN 2) Share


Serat Centhini ditulis
pada abad XIX oleh tiga orang abdi dalem Kasunanan Surakarta, yaitu:
Kyai
Yasadipura I, Kyai Ranggasutrasno dan Raden Ngabehi Sastradipura (Kyai
Haji
Ahmad Ilhar). Penulisan itu atas perintah putra mahkota, Kanjeng Gusti
Pangeran
Adipati An...om Amangku Nagara III yang kemudian menjadi raja bergelar
Sunan Paku
Buwana V (1820-1823).

Serat Centhini menceritakan perjalanan hidup Syaikh
Among Raga, salah seoran gketurunan Sunan Giri yang melarikan diri
setelah Keraton
Giri diserang dan diduduki tentara Sultan Agung yang dibantu Pangeran
Pekik dari
Surabaya. Syaikh Among Raga bersembunyi dan tinggal di pesantren ke
pesantren
lain sebagai santri kelana.
Di situlah Syaikh Among Raga banyak
mendapatkan pelajaran agama Islam, khususnya tentang kitab-kitab klasik
(kitab
kuning).

Serat Centhini menyebutkan tidak kurang dari 20 nama
kitab klasik, yang hingga kini mayoritasnya masih dikenal dan dipakai
sebagai
pegangan di pesantren.[1]

Berbagai kitab klasik itu sesuai
isinya dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu kitab Fikih dan Ushul
Fiqh, kitab Aqidah dan Tauhid, kitab Tafsir, dan kitab
Taswuf.[2]

Mengenai kitab Fiqih dan
Ushul Fiqih, Serat Centhini di antaranya menyebutkan Kitab Mukarar,
Sujak,
Kitab Ibn Kajar, Ilah, Subkah, dan Kitab Sittin.[3] Kitab
Mukarar tak lain adalah kitab Al-Muharrar karya Muhammad ar-Rafi’I yang
digunakan secara luas oleh penganut Madzhab Syafi’i. Kitab Mukarar
pernah
digubah kembali oleh Syarif An-Nawawi dengan judul Minhaj al-Thalibin
yang di Jawa dikenal dengan nama Kitab Nawawi.[4]

Kitab
Sujak maksudnya adalah kitab Mukhtashar fi at-Tarikh ‘ala Madzhab
al-Imam asy-Syafi’I karya Kadi (Qadhi) Abu Syuja’.

Kitab Ibnu Kajar menunjuk
karya Ibnu Hajar Al-Haitsami yang berjudul Tuhfat al-Nuhtaj. Kitab ini
juga disebut Kitab Tuhpat dan banyak dijadikan pegangan oleh para kyai.
Pada abad XVII kitab ini sebagian sudah diterjemahkan dan
dialihaksarakan dalam
bahasa jawa.[5]

Kitab Idah yang
dimaksud adalah kitab Idhah fi al-Fiqh, sedangkan kitab Subakh
kemungkinan menunjuk pada kitab ash-Shuhabah fi al-Muwa’izh wa al-Adab
min
Hadits Rasul Allah karya salama al-Khuda’i.

Adapun yang dimaksud kitab
Sittin adalah kitab As-Sittun mas’alah fi al-Fiqh karya Muhammad
al-Zahid al-Mishri.[6]



Serat Centhini menyebut
tidak kurang dari delapan kitab aqidah dan tauhid. Yaitu:

1.Kitab Semarakandi,
menunjuk kitab Bayan ‘Aqidah al-Ushul karya Ibrahim
as-Samarqandi.
2. Kitab Durat
yaitu Kitab Ad-Durrah karya Yusuf al-Sanusi al-Hassani.
3.Kitab
Talmisan
– juga disebut Kitab Tilmisani – adalah karya Umar bin Ibrahim
al-Tilmisani yeng berisi komentar atas Kitab Durah.
Kitab Asanusi,
karya al-Sanusi yang juga merupakan kometar atas Kitab Durah.
4.Kitab
Sail
menunjuk pada Kitab Masa’il karya Abu al-Laits as-Samarqandi. Kitab
ini juga dikenal dengan nama Bayan ‘Aqidah al-Ushul.
5.Kitab Patakul
Mubin yaitu Kitab Fathu Al-Mubin karya Ibrahim bin Muhammad
al-Bajuri.
6.Kitab Tasdik
menunjuk Kitab Bayan at-Tashdiq.
7.Kitab Juwahiru
menunju pada kitab Al-Jawahir ats-Tsaniyah fi Syarh as-Sanusiyyah,
ditulis oleh Abdullah as-Sughayir Suwaidan.

Serat Centhini juga
menyebut kitab tafsir, seperti Tepsir Baelawi dan Tepsir Jalalain.[7]
Tepsir
Baelawi adalah kitab Anwar at-Tamsil wa Asrar at-Ta’wil karya
Abdullah bin Umar al-Baidhawi, lebih dikenal sebagai Tafsir al-Baidhawi.
Adapun Tepsir Jalalain menunjuk kitab tafsir al-Jalalain karya Jalal
ad-din al-Mahalli dan Jalal ad-Din al-Syuyuthi. Kedua kitab ini hingga
sekarang
sangat dikenal dan digunakan di pesantren.
Dalam bidang tasawuf Serat
Centhini sering menyebut tiga kitab, yaitu: Kitab Ulumodin, Akhidah dan
Insan Kamil.[8]

Kitab Ulumodin adalah
Kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din karya Hujja al-Islam Imam al-Ghazali. Kitab
Akhida
tak lain adalah kitab Hidayat al-adhkiya karya Zain al-din ‘Ali
al-Malibari
yang ditulis dalam bentuk sajak pada tahun 1509. kedua kitab tasawuf ini
mengajarkan tasawuf yang bersifat ortodoks, dalam arti tetap membedakan
makhluk
dan Pencipta serta lebih manekankan pada Syari’ah.

Kitab Insan Kamil
cukup dikenal di masyarakat jawakarena ajarannya yang sesuai dengan
kepercayaan
Jawa asli, yaitu manunggaling kawulo lan gusti.

Banyaknya kitab klasik
(kitab kunig) yang disebut dalam Serat Centhini itu tidak mengherankan,
karena para penulisnya lulusan pesantren. Kyai Yasadipura I, belajar
selama
hamper tujuh tahun di pesantren Kedhu yang dipimpin Kyai Anggamaya.[9]
Raden
Ngabehi Sastradipura bahkan selepas pesantren melanjutkan pendidikan ke
Makkah.
Setelah kembali namanya menjadi Kyai Haji Ahmad Ilhar.[10]

Penyebutan kitab-kitab
klasik di dalam Serat Centhini itu juga menunjukkan bahwa syariah Islam
banyak mewarnai kehidupan masyarakat jawa hingga ke Keraton.

Hal itu misalnya tampak
dalam nasehat Syaikh Among Raga kepada istrinya, Ken Tambang Raras. Ia
mengatakan bahwa syariah bersama dengan tarekat merupakan wadhah
(tempat)
untuk menanam makrifat dan hakekat sebagai perwujudan wiji nugraha (biji
anugrah). Benih ini harus ditanam di wadhah (tempat) yang baik. Jika
ditanam di tempat yang jelek, maka akan menghasilkan sesuatu yang jelek
pula.
Syariah sebagai wadhah sekaligus dasar agama, dengan demikian, harus
dipegang
teguh dan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Mencari kesempurnaan hidup
(ilmu
makrifat dan hakekat) tanpa didasari syariah yang kuat akan sangat
membahayakan.[11] [Bersambung]

[1] .
Martin van Bruinessen. Hlm. 148-166.






[2] .
Soebadri, “Santri Religious Elements as Reflected in the Book of
Centhini”.
Dalam BKI, No. 127, 1971. hlm. 335-340.






[3] . Serat
Centhini Latin. Jilid 7, alih aksara Kamajaya. (Yogyakarta: Yayasan
Centhini,
1988). Hlm. 335-340.






[4] .
Soebadri. Op. cit. hlm. 336






[5] .






[6] . Mengenai
identifikasi berbagai kitab klasik dalam Serat Centhini dengan kitab
aslinya yang berbahasa arab, lihat Soebardi, op. cit., hlm.
335-340.mengenai
kitab tafsir, lihat Serat Centhini latin jilid 7, op, cit., hlm.
158-159.
[7] . Mengenai
kitab tafsir, lihat Serat Centhini latin jilid 7, op, cit., hlm.
158-159. Serat Centhini Latin, Jilid 6, op, cit., hlm. 112.
[8] . Serat
Centhini Latin, Jilid 6, op, cit., hlm. 112.mengenai riwayat hidup Kyai
Yasadipura I, lihat R. Sasrasumarta, R. Sastrowaluyo, dan R. Ng.
Joyosuroyo.
Tus Pajang. (Surakarta: Budhi Utomo, 1939). Hlm. 149-151.






[9] .
Mengenai riwayat hidup Kyai Yasadipura I, lihat R. Sasrasumarta, R.
Sastrowaluyo, dan R. Ng. Joyosuroyo. Tus Pajang. (Surakarta: Budhi
Utomo,
1939). Hlm. 149-151.






[10] .
Soebadri. Op, cit., hlm. 348.






[11] .
Lihat Serat Centhini Latin, Jilid 6, op, cit., hlm. 60.

1 komentar:

  1. saya sering ngubek-ngubek kios buku bekas di alun2 lor tapi nyari buku yang satu ini susahnya minta ampun......

    kalo yang versi terjemah apakah sudah ada?
    karena modal cekak saya jarang ke toko buku semacam gramedia, paling banter ya ke alun2 lor ato sriwedari

    BalasHapus