Rabu, 14 April 2010

SUNAN PAKUBUWANA IV DAN ISLAM (BAGIAN 4)


Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama islam. Ketaatan dalam menjalankan agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat lima waktu, shalat jumat dan mengharamkan minuman keras dan candu sudah terlihat sejak muda dan mesih berstatus sebagai putra mahkota.
Kegemarannya dalam menimba ilmu agama dari kyai dan guru agama menjadikan dirinya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang agama Islam. Keluasan pengetahuan Islam yang dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat dilihat dari serat-serat piwulang karyanya, seperti Serat Wulang Reh, Wulang Dalem, dan Wulang Brata Sunu. Sebagian besar isi serat piwulung Sunan Pakubuwana IV disesuaikan dengan ajaran Islam. Tidak jarang dalam serat piwulang karyanya, ia mengutip langsung ayat-ayat al- Qur’an dan hadis demi memperkuat nasihat yang disampaikannya.
Kegemaran Sunan Paku Buwana IV dalam mencari ilmu agama telah mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai. Adakalanya kyai dan guru agama mempunyai pengaruh kuat terhadap raja Surakarta, sehingga tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya. Peristiwa pakepung yang terjadi pada awal pemerintahannya merupakan suatu bukti adanya pengaruh kyai dan guru agama terhadap sikap politik yang dijalankannya.
Peristiwa Pakepung
Peristiwa pakepung terjadi pada tahun 1790 ketika Sunan Paku Buwana IV baru dua tahun dinobatkan sebagai raja Surakarta. Peristiwa ini tidak saja mempunyai latar belakang politis, yaitu adanya persaingan antar kerajaan penerus dinasti Mataram, melainkan juga latar belakang keagamaan. Adanya latar belakang semangat keagamaan yang kuat dari peristiwa ini menyebabkan banyak penulis menyebutnya sebagai gerakan keagamaan. H.J. de Graaf, misalnya, menyebut peristiwa pakepung memiliki beberapa kesamaan dengan gerakan Wahabiyah di Tanah Arab.1
peristiwa pakepung (Oktober-Desember 1790), sebagaimana diceritakan dalam babad pakepung.2 Berawal dari pengangkatan empat kyai dan santri- Kyai Wiradigda, penengah, Bahman, dan Nur Saleh- sebagai abdi dalem kinasih (abdi dalem terpercaya).
Pengaruh keempat abdi dalem kyai ini ternyata begitu besar pada Sunan sehingga banyak keputusan-keputusan politik didasarkan pada nasihatnya. Sunan Paku Buwana IV kemudian mulai mengadakan perubahan-perubahan, seperti :
1. Abdi dalem yang tidak patuh pada syariah agama ditindak, digeser dan bahkan ada yang dipecat seperti yang dialami Tumenggung Pringgalaya dan Tumenggung Mangkuyuda.
2. Sunan Paku Buwana IV juga mengharamkan minuman keras dan opium, sebagaimana ajaran agama Islam. Setiap hari Jumat, Sunan ini juga pergi ke masjid besar untuk melaksanakan shalat Jumat. Bahkan sering bertindak sebagai khatib atau pemberi khutbah Jumat.
Peristiwa yang terjadi di Keraton Surakarta ini menimbulkan kekhawatiran pihak kumpeni dan Kasultanan Yogyakarta. Kumpeni kemudian mengirim utusannya. Utusan ini dipimpin langsung oleh Gubernur dan Direktur Java’s Noord-en Ooskust yang berpusat di Semarang, yaitu Jan Greeve.3 Dari tanggal 16 September hingga 6 Oktober 1790, Jan Greeve berada di Surakarta. Tuntutannya satu, yakni Sunan Surakarta harus menyerahkan keempat orang abdi dalem kepercayaannya karena mereka inilah yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa. Sumber kolonial menyebut Wiradigda, Bahman, Kandhuruhan, Panengah dan Nur Saleh sebagai panepen yang berarti alim ulama.4 Sumber tradisional Jawa, seperti babad pakepung dan serat wicara keras menyebutnya dengan istilah abdi dalem santri.
Setelah terjadi negosiasi, namun buntu, akhirnya pasukan Kumpeni dengan dibantu oleh pasukan Kasultanan Yogyakarta, pasukan Mangkunegaran, dan Pasisiran mengepung Keraton Surakarta dari berbagai penjuru.
Sunan Paku Buwana IV, melihat kuatnya pengepungan terhadap Keratonnya merasa gentar juga. Akhirnya, atas bujukan dan usaha Kyai Yasadipura I, Sunan bersedia menyerahkan abdi dalem kepercayaannya yang dianggap sebagai biang keladi kekacauan. Dengan ditangkap dan dibuangnya kelima abdi dalem kepercayaan Sunan, pengepungan terhadap Keraton Surakarta dihentikan.
Berdasarkan kenyataan ini, kebijakan politik Sunan pada waktu itu memang banyak dipengaruhi oleh gerakan keagamaan, termasuk ketika Sunan Paku Buwana IV menuntut kepada Kumpeni agar semua penghulu yang ada di Yogyakarta, Semarang, dan daerah Pasisiran tunduk dan mengikuti kebijakan penghulu Surakarta.
Ketika masih berstatus putra mahkota, sikap keagamaan Sunan Paku Buwana IV banyak terpengaruh oleh Wiryakusuma, seorang guru agama yang mempunyai kecenderungan anti Kumpeni. Wiryakusuma adalah putra R.M Kreta yang dilahirkan dan dibesarkan di Cape Town, yang pada masa itu menjadi tempat pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang menentang dominasi Kumpeni. Salah satu tokoh perjuangan yang dibuang ke Cape Town adalah Syaikh Yusuf al-Maqassari, seorang ulama besar sekaligus guru Tarekat Naqsabandiyah.5
Wiryakusumah yang hidup di komunitas orang-orang buangan dari Nusantara mengenal nama dan ajaran tokoh ini, meskipun Syaikh Yusuf sendiri telah meninggal dunia dan dimakamkan di sana. Sikap keagamaan Wiryakusumah yang mengamalkan dzikir dan wirid telah memperkuat indikasi adanya pengaruh ajaran Tarekat Naqsabandiyah dalam dirinya. [bersambung]

Catatan kaki :
1. H.J de Graaf, Geschiedenis van Indonesie. (s- Gravenhage. Bandung: W. van hope, 1949) hlm.279.
2. –Babad Pakepung. Suntingan Teks, Analisis Struktur dan Resepsi, (Yogyakarta: Tesis S2 Universitas Gajah Mada. 1990).
-Serat Babad Pakepung, Alih aksara oleh Sri Sulistiyowati. (Museum Sanapustaka Keraton Surakarta, No. 74 ca-KS#60-Reel 101 #2)
3. Lihat:J.K.J de Jong dan M.L Deventer (eds.). de Opkomstvan het NederlanschGezg in Oost Indie. verzamling van Onuitgegeven Stukken uit het Out-kolonial Archief, Volume XII, (s’Gravenhage: Martinus Nijhoff). 1909), hlm. 209-228.
4. Opkomst, op. cit., hlm. 123.
5. Lihat: Martin van Bruissen. Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia. (Bandung: Penerbit Mizan. 1992) hlm 34-42.

Selasa, 13 April 2010

PENGADILAN SURAMBI DI KASUNANAN SURAKARTA (BAGIAN 5-SELESAI)


Keraton Surakarta memiliki sebuah struktur pemerintahan yang tersusun atas beberapa lembaga, di antaranya lembaga pengadilan. Secara kelembagaan, pengadilan Keraton merupakan lembaga yang memberi kontribusi dalam upaya penegakan hukum, menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah Kasunanan Surakarta. Sistem Peradilam Keraton juga merupakan lembaga penegak hukum yang berfungsi untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan tindak kejahatan yang dapat mengancam eksistensi raja.
Sejak masa Mataram di Kartasura sampai pindahnya Keraton ke Surakarta, sudah ada campur tangan dari pemerintah Kumpeni dalam sistem peradilan di pemerintah Kasunanan Surakarta. Perkembangan selanjutnya menunjukkan penetrasi Kumpeni ke dalam persoalan internal Keraton yang membawa perubahan dalam tata peradilan dan hukum Keraton. Kumpeni berupaya memaksakan rencana reorganisasi terhadap sistem peradilan, dengan maksud supaya pemerintah Keraton menyetujui perubahan baik dalam pelembagaan maupun pranata hukumnya.
Sistem peradilan di Kasunanan Surakarta banyak mengalami perubahan sejak menguatnya penetrasi sistem Kumpeni yang semakin intensif. Reorganisasi sistem peradilan dilakukan Kumpeni secara bertahap. Hal itu menyebabkan kebijakan Sunan banyak dipengaruhi Kumpeni. Meskipun demikian, legitimasi Sunan tetap terjaga di mata rakyatnya.
Intervensi Kumpeni terhadap sistem peradilan menjadikan Sunan hanya sebagai symbol. Kumpeni bertindak sebagai pengendali kekuasaan di wilayah Kasunanan Surakarta.
Reorganisasi sistem peradilan di Kasunanan Surakarta sudah terjadi sejak pemerintahan Sunan Paku Buwana II (1726-1749). Seluruh daerah Mataram masuk ke dalam wilayah Kumpeni. Akibatnya, Metaram bukan hanya kehilangan wilayahnya, tetapi juga harus menyerahkan urusan pengadilan ke tangan Kumpeni. Perubahan yang penting, yaitu : mengenai eksistensi lembaga peradilan itu untuk menjalankan tugas dan wewenangnya. Lembaga peradilan saat itu dikenal dengan Pengadilan Surambi. Pengadilan Surambi merupakan pengadilan agama. Tempat pelaksanaan persidangannya pun masih di lingkup tempat ibadah, yaitu di serambi bagian depan Masjid Agung. Hari persidangan pengadilan Surambi dilaksanakan pada hari sanin sampai kamis.1
Di dalam pemeriksaan perkara, pengadilan Surambi menggunakan kitab-kitab Islam. Selain sumber utamanya al-Quran dan al-Hadis juga digunakan kitab-kitab karangan As-Syafi’I yang disadur dari Al-Wajis dan kitab-kitab karangan Al-Ghazali. Kitab-kitab yang disadur antara lain: Al Muharrar; An-Nihayah, At-Tuffah, dan fath al-Wahab2.
Sebelum reorganisasi tahun 1903, pengadilan berwenang menjatuhkan hukuman kisas (qishash). Eksekusi akibat hukuman kisas secara psikologis merugikan terdakwa dan keluarganya. Namun, hukuman kisas telah terbukti efektif dalam mengurangi kejahatan dalam masyarakat. Sebab, pelaksanaan hukuman kisas tersebut dapat menjadi pelajaran bagi orang lain disekitarnya. Melalui reorganisasi dalam sistem peradilan, Kumpeni berusaha menghapus hukum kisas atas pelaku tindak kejahatan kelads berat. Menurutnya, hukum kisas tidak manusiawi dan bertentangan dengan kondisi social masyarakat Jawa.
Dalam Rijksblad Soerakarta tahun 1930 no.6 disebutkan, pelaksana pengadilan Surambi adalah wedana yogoswara dengan dibantu oleh beberapa ulama dan khatib. Kemudian salah satu dari khatib itu ditunjuk oleh wedana yogoswara sebagai juru tulis.
Pengadilan Surambi menangani perkara-perkara antara lain:
1. Pembunuhan dan perkelahian, yang dibedakan menjadi rajapati dan rajatatu. Dalam hukum Islam pembunuhan dapat dibedakan menjadi tiga macam; pembunuhan secara sengaja, yang dihukum kisas; pembunuhan yang tidak sengaja tetapi mengakibatkan kematian, dihukum denda; pembunuhan karena terjadi kesalahan, dihukum denda (diyat mughaladhah).
Diyat mughaladah adalah denda 100 unta dibagi tiga, sedangkan diyat mupakakah adalah denda 100 unta dibagi lima3. Bila denda tersebut tidak dapat dibayar dengan unta, wajib dibayar dengan uang seharga unta tersebut.4
2. Pencurian dan perampokan. Pada masa pemerintah Sunan Paku Buwana IV, orang yang menginap di rumah orang lain dapat didakwa sebagai pencuri, jiak tuan rumah tempat ia menginap kehilangan barang. Hukuman yang dijatuhkan kepada penginap, jika terbujkti bersalah, adalah mengganti sejumlah barang yang hilang.
Dalam serat Angger Gunung tanggal 12 Oktober 1840, terdapat dua pasal: pasal 81 dan 83 yang menyangkut tindak kejahatan perampokan (njarah rayah) dan pencurian kecil-kecilan (nyolong, njupuk, anyeler, nyebrot, nguntil). Mereka, baik orang yang membantu ataupun yang dibantu (dibaluhi) dalam suatu pemberontakan, akan dipukul dengan rotan/cambuk 200 (dua ratus kali). Dan selanjutnya dibuang ke seberang lautan.
3. Hutang Piutang dan Gadai. Dalam mengatur hutang-piutang, kerajaan menghendaki diangkatnya saksi.5 Oleh Sunan Paku Buwana IV perkara tersebut diatur secara tegas dalam preambule serat Angger Nawala Pradata.6
Sunan membuat aturan tidak hanya memakai saksi dalam urusan hutang-piutang dan gadai, tetapi juga seseorang disarankan untuk membuat perjanjian secara tertulis dengan tanda tangan dari kedua belah pihak.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana IX peraturan mengenai hutang-piutang lebih diperketat. Pejabat Kerajaan yang mempunyai hutang dan tidak mampu untuk membayar bisa dipecat dari jabatannya. Sanksi ini dimaksudkan untuk mendidik para pejabat mencerminkan kewibawaan sang raja yang berkuasa.
Dalam perkara hutang-piutang dan gadai, surat bukti pembayaran dan pelunasan utang sangat penting untuk menghindari kesalah-pahaman dan penipuan.7

Catatan kaki:
1 G P Rouffaer loc. Cit. Ninik Kaprajan, (Surakarta: Radya Pustaka). Hlm. 157 – 158.
2 Pawarti Soerakarta. 1939. Op. Cit, hlm.90.
3 M Sulaiman Rasyid. Op. Cit, hlm.403.
4 Serat Sultan Surya Ngalam, (Surakarta: Radya Pustaka. 1765), hlm 2.
5 Ibid, hlm. 26.
6 T Roorda. Serat Angger Nawala Pradata PB IV. Op Cit, hlm. 179.
7 Ibid, hlm. 179.


MASJID PATHOK NAGARA


Kesultanan Yogyakarta berdiri pada tahun 1755 M atau bertepatan dengann perjanjian Giyanti. Letak Kerajaan pun secara politis (pertahanan) sangat strategis, yaitu antara sungai Code (di sebelah timur) dan Winanga (di sebelah barat); secara lebih luas lagi antara Sungai Opak di sebelah Timur dan Sungai Progo di sebelah Barat. Tugu menjadi batas utara dan Krapyak di sebelah selatan, secara lebih luas lagi gunung Merapi di sebelah utara dan laut atau Samudra di sebelah Selatannya.
Islam menjadi agama resmi Kerajaan. Hal ini bisa diketahui pada saat sumpah jabatan Mangkubumi. Dengan sebuah al-Quran di atas kepalanya dia bersumpah, bahwa Allah dan Nabi Muhammad saw akan mengutuk dirinya dan keturunannya jika melanggar kesepakatan (Ricklefs, 2002: 115).
Selain itu Pangeran Mangkubumi memakai gelar dengan ciri keislaman, yaitu sultan. Kata sultan berasal dari bahasa Arab, yaitu sulthon. Kata ini memiliki pengertian yang sama dengan al-hukm dan al-mulk yang berarti kekuasaan yang melaksanakan hukum dan aturan (Zallum, 2003: 3):juga disebut aktivitas kepemimpinan yang telah diwajibkan oleh syariah atas kaum Muslim. Aktivitas kepemimpinan ini merupakan kekuasaan yang dipergunakan untuk mencegah terjadinya tindak kezaliman serta memutuskan masalah-masalah yang dipertentangkan (Zallum, 2002: 3).
Selain itu juga masih ada frasa Abdurrahman (dalam bahasa Jawa ngabdurrahman), sayyidin dan Khalifatullah. Kata khalifatullah mengambil dari kata khalifah yang mempunyai makna: orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum-hukum syariah Islam.
Dlam pembangunannya, masjid merupakan bangunan fisik yang diutamakan. Tercatat ada masjid besar sebagai pusat peribadatan umum umat Islam di ibukota Kerajaan. Di pusat Keraton ada Masjid Keputren dan Masjid Panepen.
Sultan juga membangun masjid lain sebagai pembatas wilayah ibukota Kerajaan, yaitu Masjid Pathok Negara. Sebagai batas di wilayah utara dibangun Masjid Ploso Kuning yang berada di kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman. Di batas wilayah selatan dibangun Masjid Kauman Dongkelan yang berada si Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. Di wilayah Timur ada Masjid Babadan yang berada di Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul. Di sebelah barat ada Masjid Mlangi yang berada di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Fungsi Masjid Pathok Negara tidak semata-mata untuk pembatas saja, namun untuk tempat ibadah, tempat belajar (mengaji), tempat upacara pernikahan maupun kematian dan juga menjadi pusat penyiaran agama Islam (selain masjid raya kerajaan). Ini seperti yang dijelaskan oleh salah satu pengageng Keraton, KRT Jatiningrat atau lebih dikenal dengan nama Rama Tirun Marwita. Masjid-masjid itu juga menjadi bagian dari masjid raya kerajaan sehingga menjalankan fungsi ketakmiran bersama-sama dengan masjid besar dan masjid pathok Nagara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kedudukan para imam/pengulu/ kayai pengulu masjid yang menjadi anggota al-Mahkamah al-Kabirah ( Badan Peradilan Kasultanan Yogyakarta) dalam tingkat Peradilan Agama Islam. Imam Besar Masjid Raya menjadi ketua mahkamah yang bergelar Kanjeng Kyai Pengulu.
Dalam sistem hukum dan peradilan Kerajaan, Sultan tetap memegang kekuasaan kehakiman tertinggi . ada 3 tempat pelaksanaan peradilan untuk memutuskannya, salah satunya di Masjid Pathok Nagara, yaitu: 1) pasowanan bale mangu; 2) pengadilan pradata (kantor); dan 3) pengadilan hukum sarambi.
Adapun badan peradilan yang dipakai:
1) Peradilan pradopo: merupakan pengadilan sipil yang menangani kasus pidana maupun perdata.
2) Pengadilan bale dalem atau mangu: merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat pegawai kerajaan.
3) Al-Mahkamah al-Kabirah atau pengadilan surambi atau pengadilan syar’iyyah yang berlandaskan pada syariat (hukum) Islam. Pada mulanhya pengadilan ini menangani ahwal asy-syakhsiyah (hukum keluarga) dan jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani hukum keluarga saja (nikah, talak, dan waris).
4) Pengadilan darah pengadilan ponconiti. Pengadilan ini adalah pengadilan khusus (forum privilegatum). Urusan yang melibatkan anggota keluarga Kerajaan. Pengadilan ini terbagi menjadi dua: pengadilan darah dalem dan pengadilan kepatihan darah dalem.
Beberapa kitab undang-undang yang dipakai di kesultanan Yogyakarta (Kasunanan Surakarta juga memakainya) di antaranya adalah Nawala Pradata Dalem, Angger Sadasa, Angger Ageng, Angger Gunung dan Angger Aru Biru.
Nawala Pradata Dalem berisi antara lain cara mengadili dalam hal hutang-piutang, pinjam-meminjam, gadai menggadai, dan lain sebagainya; termasuk juga bagaimana cara mengadili orang-orang yang berbuat jahat seperti pencuri, perampok, penyamun, penjambret, pembunuh, penjudi, dan sebagainya. Masalah perkawinan dan orang bertengkar juga di dalamnya.
Angger Sadasa berisi peraturan-peraturan tentang tanah pedesaan yang dipajakkan atau digadaikan kepada bangsa asing (Belanda dan Cina) maupun kepada bangsa Jawa sendiri. Kitab ini juga mengemukakan jenjang kepangkatan yang harus dianut sewaktu mengajukan perkara.
Angger Ageng memuat undang-undang yang mengatur peradilan Surakarta dan Yogyakarta, misalnya gugat-menggugat antara abdi dalem Surakarta dan Yogyakarta baik mengenai hak milik, atau kekayaan, hutang-piutang, gadai-menggadai dan lain-lainnya.
Angger Gunung berisi tentang orang-orang yang mendirikan Bandar judi, penjual kopi gelap, apyun/candu, sarang burung, obat-obatan yang dipalsukan, senjata (tombak, keris, senapan dll), perhiasan palsu dan seterusnya.
Angger Aru Biru berisi peraturan bagi orang-orang yang suka menghalangi jalannya pemerintahan. Misalnya membuat rintangan di tengah jalan, memecah belah kerukunan dan bertengkar tentang tanah desa (Roorda, 2002:1-13).
Daftar pustaka
MC. Rickefs, 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi, 174-1792. Mata Bangsa. Yogyakarta.
Roorda.2002. Javaanse Wetten, Serat-Angger-Anggeran Jawa Kepel Press. Yogyakarta.
Zallum. 2002. Sistem Pemerintahan Islam. Al –Izzah.Bangil.
http://id. Wikipedia. Org.Wiki/NgayogyakartaHadiningrat




Jejak KEKUASAAN ISLAM di BUMI YOGYAKARTA


Yogyakarta, sering disebut dengan Jogja, sejak dulu sering dikenal dengan kota pedidikan, selain kota gudeg. Hal ini tampak setidaknya dari keberagaman dua pergururan tinggi tertua di Indonesia, yaitu Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia. Namun, jika kita coba membuka-buka catatan sejarah tentang Jogja, salah satu Daerah Istimewa di Indonesia ini menyimpan banyak bukti keagungan Islam, namun saying sering luput dari perhatian banyak orang. Bahkan adanya Keraton Yogyakarta sesungguhnya merupakan salah satu bukti peninggalan yang menunjukkan besarnya pengaruh Islam di bumi Ngayogyakarta kala itu.
Daerah Istimewa Jogyakarta yang secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utaranya merupakan salah satu Kesultanan Islam yang ada di Indonesia, yakni Kesultanan Mataram. Kesultanan Mataram yang dimaksud adalah Kerajaan Islam yang dibangun pada abad ke-16 yang menurut silsilah berasal dari Kerajaan Islam demak. Ketika itu Kerajaan Demak dipindahkan ke Pajang di bawah pimpinan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. Setelah Pajang jatuh, kerajaan Islam itudipindahkan ke Mataram oleh Raden Sutawijaya yang bergelar “Senopati Ing Ngalogo Abdurrakhman Sayyidina Panotogomo Khalifatullah Tanah Jawi” (Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama). Wilayah kekuasaan Mataram kala itu meliputi Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur.
Jejak Islam dalam kehidupan Jogja
Jogja, seperti juga daerah lainnya di tanah Jawa, sebelum masuknya Islam dikenal sebagai wilayah yang penduduknya beragama Hindu dan Budha. Perbedaan status dalam kasta-kasta mewarnai kehidupan masyarakat kala itu, yang terbagi dalam kasta Brahma, Ksatria, Waisya, dan Syudra. Ritual keagamaan, paham, mistisme legenda menyertai interaksi diantara mereka
Masuknya islam sebagai sebuah ajaran baru perlahan mempengaruhi kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Jawa, khususnya Jogja. Keberadaan Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga (Raden Said), merupakan tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja. Keberadaan Wali Songo dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia ternyata menjadi catatan penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri Nusantara dan Kekhilafahan Islamiyah, yang kala itu dipimpin oleh Sultan Muhammad I (808H/1404M), yang juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani. Wali Songo memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kesultanan-kesultanan yang muncul di Indonesia, termasuk kesultanan Mataram diam di Yogyakarta.
Mengutip catatan Adaby Darban, dalam Sejarah Kauman. Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, pada masa kekuasaan Mangkubumi (Sultan Hamengku buwono I), dibangunlah Keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1775 M. keratin menjadi symbol ekstensi kekuasaan Islam, meski berada dalam penguasaan Belanda, sebagaimana kerajaan Islam di Jawa sebelumnya, seperti Demak, Jipang, Pajang, setiap keratin memiliki masjid dan alun-alun. Masjid inilah yang nantinya memegang peranan penting dalam membangun kebudayaan Islam, termasuk dipergunakan oleh sultan untuk berhubungan dengan para bawahannya dan masyarakat umum.
Pendirian masjid yang kemudian diberi nama Masjid Agung inin dilengkapi dengan bangunan yang memiliki kefungsian khusus. Serambi masjid diberi nama “Al-Mahkamah Al-Kabirah”. Yang berarti mahkamah agung berfungsi sebagai tempat untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi di kehidupan masyarakat.
Untuk urusan keagamaan, dibentuklah lembaga kepenguluan sebagai Penasehat Dewan Daerah sekaligus menjadi bagian birokrasi kerajaan. Mereka adalah orang-orang alim tentang Islam yang mengatur semua kefungsian masjid. Diantaranya adalah pendidikan. Melalui pondok pesantren yang ada di masjid ataupun langgar-langgar, proses pembentukan masyarakat Islam dilakukan. Tidak jarang putra-putri mereka dikirim ke pondok pesantren terkenal seperti Termas, Tebuireng, dan Gontor, yang sepulangnya dari sana akan menjadi ulama-ulama penerus kepenguluan di Keraton Yogyakarta. Hal ini menggambarkan bagaimana peran Kerajaan (tepatnya Kesultanan) dalam melakukan proses pendidikan Islam kepada rakyatnya.
Di bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, Jogja yang saat itu masih kental dipengaruhi oleh ‘warisan’ budaya Majapahit dan Syiwa Budha, sedikit demi sedikit mulai diarahkan pada budaya dan pola interaksi yang Islami. Disinilah peran Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah memberikan andil yang begitu besar. Hasilnya adalah terdapat sejumlah upacara kerajaan yang telah diislamisasi sebagai syiar Islam di tengah masyarakat, seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang masih ada hingga kini. Wayang, sebagai salah satu contoh, merupakan sarana yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media mendakwahkan Islam (dakwahtainment). Wayang yang sudah ada sejak Kerajaan Kahuripan itu menjadi salah satu hiburan masyarakat yang paling populer.
Demikian pula pada upacara grebeg dan sekaten. Sekaten dari bahasa Arab syahadatain, yang artinya dua syahadat, merupakan nama dua buah gamelan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan ditabuh pada hari-hari tertentu atau pada perayaan Maulud Nabi di Masjid Agung. Adapun grebeg, yang artinya mengikuti (bahasa Jawa), yakni upacara menghantarkan Sultan dari Keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulud Nabi Muhammad saw. Yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal Istana lengkap dengan nasi gunungannya.[Bey laspriana, tingal di Yogyakarta]

Daftar bacaan
1. Ahmad Adaby DArban, Sejarah Kauman. Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, Tarawang, Yogyakarta, Januari. 2002.
2. Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, Menara Kudus, 1974.
3. Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus, 1960.
4. Wikipedia/kerajaan_mataram_islam.
5. Mark R Woodward, Islam Jawa. Kesalehan Normatif versus kebatinan, LKIS, Jogja, 1999.
6. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam : Khilafah dalam bagian “Dunisa Islam Bagian Timur”, PT. Ichtiar Baru Vab Hoeven, Jakarta. 2002.
7. Rahimsyah, Kisah Wali Songo, tanpa tahun, Karya Agung, Surabaya.


SERAT CENTHINI: JEJAK SYARIAH DI KERATHON SURAKARTA (BAGIAN 2) Share


Serat Centhini ditulis
pada abad XIX oleh tiga orang abdi dalem Kasunanan Surakarta, yaitu:
Kyai
Yasadipura I, Kyai Ranggasutrasno dan Raden Ngabehi Sastradipura (Kyai
Haji
Ahmad Ilhar). Penulisan itu atas perintah putra mahkota, Kanjeng Gusti
Pangeran
Adipati An...om Amangku Nagara III yang kemudian menjadi raja bergelar
Sunan Paku
Buwana V (1820-1823).

Serat Centhini menceritakan perjalanan hidup Syaikh
Among Raga, salah seoran gketurunan Sunan Giri yang melarikan diri
setelah Keraton
Giri diserang dan diduduki tentara Sultan Agung yang dibantu Pangeran
Pekik dari
Surabaya. Syaikh Among Raga bersembunyi dan tinggal di pesantren ke
pesantren
lain sebagai santri kelana.
Di situlah Syaikh Among Raga banyak
mendapatkan pelajaran agama Islam, khususnya tentang kitab-kitab klasik
(kitab
kuning).

Serat Centhini menyebutkan tidak kurang dari 20 nama
kitab klasik, yang hingga kini mayoritasnya masih dikenal dan dipakai
sebagai
pegangan di pesantren.[1]

Berbagai kitab klasik itu sesuai
isinya dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu kitab Fikih dan Ushul
Fiqh, kitab Aqidah dan Tauhid, kitab Tafsir, dan kitab
Taswuf.[2]

Mengenai kitab Fiqih dan
Ushul Fiqih, Serat Centhini di antaranya menyebutkan Kitab Mukarar,
Sujak,
Kitab Ibn Kajar, Ilah, Subkah, dan Kitab Sittin.[3] Kitab
Mukarar tak lain adalah kitab Al-Muharrar karya Muhammad ar-Rafi’I yang
digunakan secara luas oleh penganut Madzhab Syafi’i. Kitab Mukarar
pernah
digubah kembali oleh Syarif An-Nawawi dengan judul Minhaj al-Thalibin
yang di Jawa dikenal dengan nama Kitab Nawawi.[4]

Kitab
Sujak maksudnya adalah kitab Mukhtashar fi at-Tarikh ‘ala Madzhab
al-Imam asy-Syafi’I karya Kadi (Qadhi) Abu Syuja’.

Kitab Ibnu Kajar menunjuk
karya Ibnu Hajar Al-Haitsami yang berjudul Tuhfat al-Nuhtaj. Kitab ini
juga disebut Kitab Tuhpat dan banyak dijadikan pegangan oleh para kyai.
Pada abad XVII kitab ini sebagian sudah diterjemahkan dan
dialihaksarakan dalam
bahasa jawa.[5]

Kitab Idah yang
dimaksud adalah kitab Idhah fi al-Fiqh, sedangkan kitab Subakh
kemungkinan menunjuk pada kitab ash-Shuhabah fi al-Muwa’izh wa al-Adab
min
Hadits Rasul Allah karya salama al-Khuda’i.

Adapun yang dimaksud kitab
Sittin adalah kitab As-Sittun mas’alah fi al-Fiqh karya Muhammad
al-Zahid al-Mishri.[6]



Serat Centhini menyebut
tidak kurang dari delapan kitab aqidah dan tauhid. Yaitu:

1.Kitab Semarakandi,
menunjuk kitab Bayan ‘Aqidah al-Ushul karya Ibrahim
as-Samarqandi.
2. Kitab Durat
yaitu Kitab Ad-Durrah karya Yusuf al-Sanusi al-Hassani.
3.Kitab
Talmisan
– juga disebut Kitab Tilmisani – adalah karya Umar bin Ibrahim
al-Tilmisani yeng berisi komentar atas Kitab Durah.
Kitab Asanusi,
karya al-Sanusi yang juga merupakan kometar atas Kitab Durah.
4.Kitab
Sail
menunjuk pada Kitab Masa’il karya Abu al-Laits as-Samarqandi. Kitab
ini juga dikenal dengan nama Bayan ‘Aqidah al-Ushul.
5.Kitab Patakul
Mubin yaitu Kitab Fathu Al-Mubin karya Ibrahim bin Muhammad
al-Bajuri.
6.Kitab Tasdik
menunjuk Kitab Bayan at-Tashdiq.
7.Kitab Juwahiru
menunju pada kitab Al-Jawahir ats-Tsaniyah fi Syarh as-Sanusiyyah,
ditulis oleh Abdullah as-Sughayir Suwaidan.

Serat Centhini juga
menyebut kitab tafsir, seperti Tepsir Baelawi dan Tepsir Jalalain.[7]
Tepsir
Baelawi adalah kitab Anwar at-Tamsil wa Asrar at-Ta’wil karya
Abdullah bin Umar al-Baidhawi, lebih dikenal sebagai Tafsir al-Baidhawi.
Adapun Tepsir Jalalain menunjuk kitab tafsir al-Jalalain karya Jalal
ad-din al-Mahalli dan Jalal ad-Din al-Syuyuthi. Kedua kitab ini hingga
sekarang
sangat dikenal dan digunakan di pesantren.
Dalam bidang tasawuf Serat
Centhini sering menyebut tiga kitab, yaitu: Kitab Ulumodin, Akhidah dan
Insan Kamil.[8]

Kitab Ulumodin adalah
Kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din karya Hujja al-Islam Imam al-Ghazali. Kitab
Akhida
tak lain adalah kitab Hidayat al-adhkiya karya Zain al-din ‘Ali
al-Malibari
yang ditulis dalam bentuk sajak pada tahun 1509. kedua kitab tasawuf ini
mengajarkan tasawuf yang bersifat ortodoks, dalam arti tetap membedakan
makhluk
dan Pencipta serta lebih manekankan pada Syari’ah.

Kitab Insan Kamil
cukup dikenal di masyarakat jawakarena ajarannya yang sesuai dengan
kepercayaan
Jawa asli, yaitu manunggaling kawulo lan gusti.

Banyaknya kitab klasik
(kitab kunig) yang disebut dalam Serat Centhini itu tidak mengherankan,
karena para penulisnya lulusan pesantren. Kyai Yasadipura I, belajar
selama
hamper tujuh tahun di pesantren Kedhu yang dipimpin Kyai Anggamaya.[9]
Raden
Ngabehi Sastradipura bahkan selepas pesantren melanjutkan pendidikan ke
Makkah.
Setelah kembali namanya menjadi Kyai Haji Ahmad Ilhar.[10]

Penyebutan kitab-kitab
klasik di dalam Serat Centhini itu juga menunjukkan bahwa syariah Islam
banyak mewarnai kehidupan masyarakat jawa hingga ke Keraton.

Hal itu misalnya tampak
dalam nasehat Syaikh Among Raga kepada istrinya, Ken Tambang Raras. Ia
mengatakan bahwa syariah bersama dengan tarekat merupakan wadhah
(tempat)
untuk menanam makrifat dan hakekat sebagai perwujudan wiji nugraha (biji
anugrah). Benih ini harus ditanam di wadhah (tempat) yang baik. Jika
ditanam di tempat yang jelek, maka akan menghasilkan sesuatu yang jelek
pula.
Syariah sebagai wadhah sekaligus dasar agama, dengan demikian, harus
dipegang
teguh dan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Mencari kesempurnaan hidup
(ilmu
makrifat dan hakekat) tanpa didasari syariah yang kuat akan sangat
membahayakan.[11] [Bersambung]

[1] .
Martin van Bruinessen. Hlm. 148-166.






[2] .
Soebadri, “Santri Religious Elements as Reflected in the Book of
Centhini”.
Dalam BKI, No. 127, 1971. hlm. 335-340.






[3] . Serat
Centhini Latin. Jilid 7, alih aksara Kamajaya. (Yogyakarta: Yayasan
Centhini,
1988). Hlm. 335-340.






[4] .
Soebadri. Op. cit. hlm. 336






[5] .






[6] . Mengenai
identifikasi berbagai kitab klasik dalam Serat Centhini dengan kitab
aslinya yang berbahasa arab, lihat Soebardi, op. cit., hlm.
335-340.mengenai
kitab tafsir, lihat Serat Centhini latin jilid 7, op, cit., hlm.
158-159.
[7] . Mengenai
kitab tafsir, lihat Serat Centhini latin jilid 7, op, cit., hlm.
158-159. Serat Centhini Latin, Jilid 6, op, cit., hlm. 112.
[8] . Serat
Centhini Latin, Jilid 6, op, cit., hlm. 112.mengenai riwayat hidup Kyai
Yasadipura I, lihat R. Sasrasumarta, R. Sastrowaluyo, dan R. Ng.
Joyosuroyo.
Tus Pajang. (Surakarta: Budhi Utomo, 1939). Hlm. 149-151.






[9] .
Mengenai riwayat hidup Kyai Yasadipura I, lihat R. Sasrasumarta, R.
Sastrowaluyo, dan R. Ng. Joyosuroyo. Tus Pajang. (Surakarta: Budhi
Utomo,
1939). Hlm. 149-151.






[10] .
Soebadri. Op, cit., hlm. 348.






[11] .
Lihat Serat Centhini Latin, Jilid 6, op, cit., hlm. 60.

ISLAM DAN KRATON KASUNANAN SURAKARTA (MASA SUNAN PAKU BUWANA IV) BAGIAN 1



Sikap Keagamaan Masyarakat Kraton



Kasunanan Surakarta secara formil memang merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman. Ciri sebagai kerajaan islam dapat dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan. Berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunan gelar sayidin panatagama (artinya pemimpin dan sekaligus sebagai pengatur urusan agama) oleh Sunan, dan berdirinya masjid agung di lingkungan keraton. Di samping itu banyak ucapan keraton yang juga mencerminkan sifat islami, seperti upacara Garebeg yang dipandang sebagai upacara besar.



Kasunanan Surakarta mengenal tiga macam upacara Garebeg, yaitu Garebeg Pasa, pelaksanaannya bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri; Garebeg Besar, diselenggarakan bertepatan dengan Hari Raya Idul Qurban; dan Garebeg Mulud, untuk merayakan dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Garebeg Mulud, juga dikenal dengan sebutan Sekaten, merupakan garebeg terbesar di antara dua garebeg lainnya sehingga pelaksanaannya sangat agung dan meriah. Cirri-ciri seperti ini merupakan tanda penguat bahwa kasunanan Surakarta memang sebuah kerajaan islam.





Meskipun nuansa keislaman telah mewarnai symbol-simbol budaya keraton kasunanan Surakarta, pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat islam sinkretik. Berbagai kepercayaan pra islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, kepercayaan pada makhluk halus, dan upacara ritual pra islam lainnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keagamaan masyarakat kraton. Akhirnya, semua itu menjadi cirri keagamaan masyarakat keraton yang oleh para peneliti kemudian dikenal dengan istilah Agama Jawi .



Sifat sinkretisme agama yang dihayati oleh masyarakat keratin sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses islamisasi pedalaman Jawa itu sendiri. Agama Islam masuk ke pedalaman jawa tidaklah dalam bentuk murni yang mementingkan syari’ah, namun lebih banyak bercampur dengan sufisme atau mistik Islam .



Penekanan pada unsure mistik atau sufisme pada awal penyebaran Islam di pedalaman jawa dapat dilihat dari tokoh-tokoh penyebarnya. Seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Panandaran. Kedua tokoh penyebar agama Islam ini memang memiliki warna sufisme yang kental karena ingin menyesuaikan Islam dengan alam pemikiran masyarakat pedalaman jawa. Oleh karena tekanannya pada tasawuf, maka proses islamisasi di pedalaman jawa tidak mengalami hambatan yang berarti. Hal ini berkaitan dengan adanya beberapa kesamaan antara pandangan dunia tradisional jawa dan ajaran mistik atau tasawuf Islam.



Ajaran tasawuf dalam ajaran agama Islam memang mengenal dua aliran, yaitu Tasawuf Ortodok dan Tasawuf Heterodok. Tasawuf Orotdok,, dengan tokohnya imam al-Ghazali, tetap mempertahankan transedensi Tuhan yang mengatasi semua makhluk sehingga antara tuhan dan makhluk terdapat perbedaan. Sebaliknya, Tasawuf Heterodok, dengan tokohnya yang terkenall dengan Al-Hallaj dan Ibnu Arabi, cenderung pada paham panteistik (wahdat al-wujud) dan percaya bahwa makhluk merupakan bagian dari Tuhan sehingga manusia dapat menyatu dengan tuhan (manunggaling kawulo gusti).



Pandangan dunia tradisional Jawa yang tidak membedakan antara makrokosmos (jagad gede atau alam keilahian) dan mikrokosmos (jagad cilik atau alam manusia). Sehingga keduanya dapat saling bertemu, mendapatkan kecocokannya dari ajaran Islam mistik; wahdat al-wujud bersikap panteistik, dalam arti manusia dapat menyatu dengan tuhan. Oleh karena kesamaan dalam hal inilah, maka Islam dapat diterima dan diintegrasikan dalam pola sosial, budaya dan politik masyarakat.



Keharmonisan pola integrasi agama Islam di pedalaman jawa ini dapat dilihat dari pandangan masyarakat jawa terhadap para wali dan kyai penganjur agama islam. Mereka tidak saja dianggap sebagai penyebar agama. Melainkan juga dianggap sebagai ‘penjaga’ budaya jawa. Masyarakat jawa bahkan percaya bahwa kesenian wayang dan gamelan sebagai puncak budaya jawa dan merupakan karya para wali. Ciri sufisme atau mistik Islam dengan demikian telah menemukan kecocokannya dalam pandangan dunia tradisional Jawa sehingga dapat mempercepat proses integrasi dan penyebaran agama islam.



Gambaran sifat sinkretik yang lebih mementingkan sufisme atau tasawuf dalam masyarakat keraton Surakarta dapat dilihat dari sikap hidup mereka dalam menghayati agama. Bagi masyarakat keraton , ajaran syariah dalam islam barulah dianggap sebagai titik awal untuk menuju taraf pemahaman tentang keilahian yang lebih tinggi. Syariah agama memang dijalankan masyarakat keraton. Namun, hal ini tidak dipandang sebagai tujuan akhir karena ada tujuan lain yang ingin direngkuhnya. Munculnya ajaran tentang manunggaling kawulo gusti dan kecenderungan masyarakat keraton untuk menghayati keagamaan yang hanya ada dalam dunia batin, sehingga sering meninggalkan aspek syariah agama yang dianutnya, merupakan bukti sikap keagamaan sinkretik tersebut.



Namun demikian, adakalanya sikap keagamaan masyarakat keraton yang cenderung sinkretik berubah ke sikap lebih orotodok (murni) yang menekankan pada hukum syariah. Ketika Sunan Pakubuwana IV (1788-1820) memerintah Kasunanan Surakarta, perubahan sikap keagamaan ini juga terjadi. Sunan Paku Buwana IV memang dikenal sebagai raja yang alim dan taat menjalankan perintah agama sehingga raja yang alim dan taat menjalankan perintah agama sehingga mendapat julukan Ratu ableg wali mukmin. Sikap keagamaan yang dihayati oleh seorang raja kemudian berpengaruh pada sikap keagamaan masyarakat keraton lainnya. Suasana perubahan sikap keagamaan di keraton Surakarta tampak dengan jelas pada karya sastra yang lahir saat itu, seperti Serat Centini, Serat Cabolek, dan Serat Wulang reh. Ketiga serat tersebut memang dapat memberikan gambaran mengenai realitas sejarah awal abad XIX (bangsawan dan priyayi) dalam menghayati ajaran agamanya [bersambung]



Catatan kaki:

1. Darsiti Soeratman, Kehidupan dunia Kraton Surakarta 1830-1939. (penerbit taman siswa, Yogyakarta, 1989). Hlm. 139

2. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984). Hlm. 310; W.F. Wertheim, Indonesian Society in transition, A study of

3 . H.J de Graaf dan Th.G.Th. pigeaud. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Peralihan majapahit ke Mataram. (Jakarta: Grafitipers, 1985). Hlm. 9.

4. Mengenai tokoh sunan Kalijaga (lihat: ibid. hlm. 283): Providence USA: foris publication. 1987). Hlm. 56-60

5. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Suatu studi terhadap serat wirid Hidayat Jati. (Jakarta: Universitas Indonesia. 1986). Hlm. 52-53; Martin van Bruinessen. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. (bandung; penerbit mizan. 1995). Hlm. 27-30

6. Mengenai sumbangan para wali bagi perkembangan kesenian wayang dan gamelan, lihat Sholochin Salam, Sejarah Wali Sanga. (Kudus: Menara Kudus. 1975)